Telur Asin Yang Berubah Menjadi Masjid Raya Sultan Di Pulau Penyengat, Riau

Kepulauan Riau adalah tujuan wisata yang sempurna jika Anda mencari keindahan pulau tropis lengkap dengan taman laut yang indah serta dibalut dengan kebudayaan masyarakat yang kental. Seperti diketahui bahwa asal usul kebudayaan Melayu berasal dari salah satu kawasan di Provinsi Kepulauan Riau ini. Di tepi Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, dapat dilihat sebuah masjid yang berdiri sejak dua abad lalu dengan empat menara yang tingginya mencapai 19 meter. Masjid Raya Sultan Riau adalah daya tarik dari Pulau Penyengat yang berjarak 3 km dari Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau.

Masjid Raya Sultan Riau berdiri pada tanggal 1 Syawal 1249 H atau 1832 M oleh Raja Abdurrahman. Uniknya, masjid ini dibangun tidak menggunakan semen, tetapi menggunakan putih telur, kapur, dan tanah liat sebagai perekatnya. Masjid Raya ini berukuran 18 m x 19,8 m. Awalnya masjid ini ukurannya tidak terlalu besar. Namun seiring berjalannya waktu jemaah kian membludak dan masjid tak mampu lagi menampung. Maka dari itu Raja Abdurrahman Sultan Kerajaan Riau memperluas masjid di tahun 1831-1844. Warna bangunan masjid ini selalu diberi warna kuning dan hijau, karena warna kuning melambangkan Kerajaan dan warna hijau berarti Islam.

Saat itu pembangunan masjid ini dilakukan secara swadaya melibatkan seluruh penduduk Pulau Penyengat hingga penduduk di kawasan Kepulauan Riau. Mereka menyumbangkan bahan material hingga bahan makanan. Salah satu bahan makanan yang paling banyak disumbangkan adalah telur. Dari sana para pekerja merasa bosan setiap hari makan telur hingga yang dimakan hanya kuning telurnya saja. Sang arsitek memiliki ide cemerlang agar putih telur tidak terbuang sia-sia. Ia memerintahkan untuk mencampur putih telur ke dalam material bangunan bersama dengan pasir dan kapur. Ternyata putih telur tersebut berhasil menjadi perekat yang kokoh hingga menjadi bangunan masjid yang indah seperti sekarang.

Kompleks masjid terdiri atas sebuah masjid sebagai bangunan utama, dua buah bangunan di sisi timur yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan berbagai keperluan perayaan/upacara yang berkaitan dengan hari-hari besar Islam. Selain itu, di antara kedua bangunan tersebut juga terdapat dua buah bangunan semacam pendopo. Bangunan tempat wudlu terletak di sisi utara dan selatan bangunan masjid. Bangunan utama masjid berdenah segi empat terbuat dari beton dengan pintu masuk utama di sisi timur, dan pintu lain di sisi utara dan selatan.

Terdapat empat buah menara yang bentuknya seperti bawang dan bangunan kembar di sebelah kiri dan kanan depan masjid. Di belakang masjid, terdapat makam keluarga Sultan. Kubahnya berjumlah 17 buah sesuai dengan jumlah rakat shalat lima waktu. Salah satu keunikan bangunan masjid ini kedap suara dan dapat meredam gema jika berada di dalamnya. Keunikan lain dari Masjid Raya Sultan Riau adalah di dalam masjid ini tersimpan mushaf dengan umur yang sudah tua yakni 1752 masehi.

Anda dapat melihat koleksi perpusatakaan dari Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi, mimbar khotib yang khas serta kitab-kitab kuno dan kitab suci Al-Quran yang ditulis tangan. Selain itu mimbar masjid juga terbuat dari kayu jati yang dibawa langsung dari Jepara. Ada pula sepiring pasir dari tanah Mekkah di dekat mimbar yang katanya dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua, bangsawan Riau pertama yang menunaikan ibadah haji, yaitu pada tahun 1820.

Untuk menuju Pulau Penyengat, ada beberapa alternatif yang bisa Anda pilih. Pertama, melalui Batam menuju Tanjung Pinang. Kedua, bisa menggunakan penerbangan menuju Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah. Selanjutnya menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura dengan waktu tempuh sekitar 35 menit. Penyeberangan dari Pelabuhan Sri Bintan Pura ditempuh menggunakan transportasi lokal. Masyarakat setempat menyebutnya Pompong. Mulai dari Rp 7.000 per orang, atau jika ingin lebih murah Anda bisa beramai-ramai dengan wisatawan lainnya menyewa sebuah Pompong.

Views: 525

bubuy

Backpackology

Baca Artikel Lainnya