Suasana candi yang eksotis, lengkap dengan arsitektur mirip candi-candi di Bali, bisa kita dapatkan di CANDI CETHO. Candi cetho terletak di lereng gunung Lawu. Terbayang kan seperti apa suasananya? Hamparan panorama kehijauan pepohonan khas pegunungan bisa kita nikmati dari ketinggian. Menyusuri jejak sejarah di Candi Cetho tidak akan membosankan deh!
Candi Cetho terletak di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia. Posisinya berada di ketinggian sekitar 1497 mdpl di lereng gunung lawu. Candi ini berada di titik koordinat 7° 35′ 30.22″ S, +111° 9′ 19.87″ E .
Untuk menuju Candi Cetho di lereng lawu, membutuhkan waktu sekitar satu jam berkendara dari Pusat Kota Solo. Kita tinggal ke arah timur menuju Kota Karanganyar, kemudian mengikuti penunjuk arah ke air terjun Grojogan Sewu. Sebelum sampai ke air terjun grojogan sewu, ada penunjuk arah untuk ke Candi Cetho.
Pastikan kendaraan yang kita tumpangi dalam keadaan baik dan pengemudinya sudah berpengalaman. Karena medan yang ditempuh lumayan menantang adrenalin. Tanjakan ekstrim dan jalan yang berkelok-kelok tajam menjadi tantangan tersendiri untuk menuju Candi Cetho.
Namun jangan khawatir, karena pemadangan sepanjang perjalanan akan memanjakan mata loo. Panorama indah khas pegunungan dan hamparan kebun teh sangat segar dilihat. Udara pun masih bersih dan terasa menyegarkan untuk dihirup. Jika cuaca sedang berkabut, pemandangannya jadi mirip-mirip di luar negeri gitu deh, hehe.
Kompleks candi cetho pertama kali ditemukan oleh seorang arkeolog Belanda yang bernama Van de Vlies sekitar tahun 1842. Ada 14 teras/punden bertingkat, memanjang dari barat ke timur. Kemudian pemugaran dilakukan pada akhir 1970-an oleh Sudjono Humardani. Dalam pemugaran ini banyak struktur asli candi diperbaiki, meski konsep punden berundak tetap dipertahankan.
Beberapa obyek baru hasil pembaruan yang dianggap sudah tidak original adalah gapura di depan bagian kompleks, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan sebagai Sabda palon, Nayagenggong, Brawijaya V, serta punden lebih tinggi daripada bangunan kubus.
Berdasarkan penelitian ilmuwan dan arkolog, Candi Cetho diperkirakan dibangun pada 1451-1470 atau saat Raja Brawijaya V di Majapahit berkuasa Candi cetho di perkirana dibangun untuk ritual tolak bala dan ruawatn karena pada masa tersebut kerajaan majapahit banyak terjadi kerusuhan dan permasalahan kerajaan.
Sekarang kompleks candi cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Pada dinding kanan gapura terdapat inskripsi dengan aksara Jawa Kuno berbunyi Pelling Padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku. Tafsiran dari tulisan tersebut adalah fungsi candi untuk mensucikan diri (ruwat) dan penyebutan tahun pembuatan gapura, yaitu pada tahun 1397 Saka atau dalam Masehi 1475 Masehi.
Diteras ketujuh terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat penggambaran hewan-hewan lain, seperti katak dan ketam. Pada aras ke delapan terdapat arca phallus ( disebut “kuntobimo”) disisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud Mahadewa.
Pemujaan terhadap arca ini melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi. Dan yang terakhir adalah aras ke sembilan merupakan aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Disini terdapat bangunan batu berbentuk kubus. Phallus dan bangunan kubus ada bagian puncak punden.
Seperti di Bali, untuk memasuki kawasan candi cetho, wisatawan juga diwajibkan untuk memakai selembar kain yang bernama kain kampuh. Pemakaian kain ini dimaksudkan untuk menghormati dan menjaga kesakralan candi. Wisatawan diharapkan untuk menjaga sopan santun selama berada di area candi yang masih digunakan sebagai tempat ibadah ini.
Views: 475