“You can’t fall if you don’t climb, but there’s no joy in living your whole life on the ground – unkwon”
Di sebuah warung makan, kami menatap hujan yang jatuh sepanjang pagi itu. Tebing Parang di seberang sana tampak menjulang dengan diselimuti kabut. Kami semua menuggu dengan cemas, akankah hujan akan berhenti atau tetap mengguyur sepanjang hari? Yak, Ini pertama kalinya bagi saya mengikuti kegiatan rock climbing via ferrata. Rasanya sudah tidak sabar untuk memanjat tebing Parang setinggi lebih dari 300 meter atau hampir tiga kali lipat tinggi Monas.
Setelah menunggu hingga hampir pukul sembilan pagi, akhirnya cuaca sedikit bersahabat. Kami semua segera mengenakan perlengkapan climbing. Seat Harness, Carabiner, Lanyard Arm sudah terpasang rapi. Tak lupa helm untuk melindungi kepala dari bebatuan yang mungkin jatuh dari atas dan juga sarung tangan. Titik awal pendakian yang berjarak sekitar lima belas menit jalan kaki terasa sangat licin. Kami terbagi dua kloter dan beruntungnya saya mendapatkan kloter yang pertama.
Gunung Parang terletak di Kampung Cihuni, Desa Sukamulya, Kecamatan Tegalwaru, Purwakarta. Sekitar 3 jam perjalanan dari Jakarta. Ini merupakan via ferrata tertinggi kedua di asia dan yang pertama di Indonesia. Via ferrata sendiri berarti jalur besi, atau bisa juga diartikan pendakian dengan menggunakan tangga besi yang disusun sedemikian rupa sesuai trek pendakian.
Awal pendakian masih terasa aman, cuaca yang masih mendung menguntungkan saya dan teman-teman. Setelah berada di ketinggian sekitar 50 meter, kami istirahat sejenak saat guide memberikan pengarahan. Keseruan atau lebih tepatnya kengerian dimulai saat kita mulai menanjak secara vertikal. Satu per satu kami mulai memanjat tebing dengan pijakan tangga besi. Mata harus berkonsentrasi untuk memastikan carabiner tidak terbuka saat dikaitkan pada tali sling atau tangga besi. Sementara tangan dan kaki harus bersiap mencari pijakan. Jalur via ferrata ini tidak hanya vertikal. Di ketinggian paling atas jalur yang kita lewati mulai mengarah horizontal, miring dan berbelok. Kaki dan tangan harus lebih ekstra hati-hati.
Kalau dibilang takut ketinggian sebagai manusia normal saya juga takut. Saat berada diatas tebing kaki terasa ‘ayub-ayuban’ atau seperti tertarik gravitasi bumi, meskipun saya tetap berpegang teguh pada agama, eh maksudnya pada tangga besi. Bisa dibayangkan nyawa kita satu-satunya digantungkan pada dua utas tali. Apalagi saat mencoba berfoto dengan melepas kedua tangan ala instagram. Duhh! Awalnya saya kurang pede. Badan seperti mau jatuh membayangkan tiba-tiba tali putus atau besi sangkutnya lepas. Namun disitu saya belajar menikmati, menikmati kengerian. Bonusnya kita bisa melihat pemandangan Waduk Jatiluhur yang terlihat keren dan menakjubkan dari atas.
Trek selanjutnya juga tak kalah menantang, setelah memanjat secara vertikal kini kita harus mengitari pinggiran tebing secara horizontal dengan melewati beberapa belokan. Rasanya? Bayangkan saja kita menapaki pijakan besi yang bawahnya adalah ngarai. Benar-benar lepas dari daratan. Apalagi posisi saya paling depan, harus belajar sendiri mencari pijakan yang tepat. Sementara mas-mas guidenya berada ditengah-tengah sibuk mengambil gambar.
Kembali nyawa kita digantung pada dua utas tali. Berakhir? Belum, justru trek terakhir ketika menuruni tebing jauh lebih aduhai. Pada awalnya saya mengira cara turun dari tebing Parang dengan menggunakan teknik rappeling, dimana prinsipnya kita menuruni tebing dengan seutas tali sebagai jalur lintasan, namun perkiraan saya salah. Kita tetap menggunakan teknik yang sama hanya berdeda lintasan. Ketika mendaki mata kita menatap ke atas, otomatis kita jarang melihat kengerian dibawah sana. Namun pada saat menuruni tebing, hampir setiap saat mata kita menatap pemandangan dasar ngarai ratusan meter dibawah sana. Yuhuuu.. Kaki mulai lemas, ngeri-ngeri sedap.
Setelah kurang lebih empat jam-an naik turun mengitari tebing, alhamdulillah akhirnya saya mendarat dengan selamat. Puas rasanya ketika saya berhasil menikmati keseru(ngeri)an demi keseru(ngeri)an yang disuguhkan Tebing Parang. Bagi yang suka exstreme sport pengalaman ini wajib dicoba. Sekian.
* Ini adalah trip yang kesekian kalinya saya ikuti dengan teman-teman dari komunitas backpacker Jakarta. Keseruan dan rasa kebersamaan selama perjalanan merupakan obat dari segala kekecewaan ketika kenyataan yang diharapkan tidak sesuai ekspektasi.
Views: 1033