Sudah tidak bisa ditahan lagi saya ingin menginjakkan kaki di tanah Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar di gunung Halimun, Sukabumi, Jawa Barat. Setiap kali membuka IG teracuni gambar-gambar yang di upload kang Yoyo. “Emas menghampar” di Ciptagelar sepertinya tak kalah menarik dari terasering cantik Sa Pa, Vietnam Utara yang mencuri perhatian turis dengan etnis Hmong-nya.
Perempuan-perempuan bersarung batik, memakai topi anyaman bambu lebar di antara hamparan bulir padi keemasan yang merunduk, masanya untuk dituai. Lelaki berbaju hitam, memakai ikat kepala memikul ikatan padi melalui jalan setapak diantara huma. Pemandangan yang saya dapat dari sebuah saung di atas jejeran leuit Ciptagelar.
Lebih dari itu, ada nilai-nilai kehidupan sebagai pembelajaran berkunjung ke sebuah kampung yang masyarakatnya memegang teguh adat budaya dari karuhun atau leluhurnya. Ciptagelar berarti terbuka atau pasrah. Sesuatu yang menjadi wangsit dari karuhun harus dilaksanakan sebagai wujud kepatuhan dan kesetiaan.
Padi diperlakukan istimewa disini. Sebagai sumber kehidupan, menjual padi hasil panen masyarakat Ciptagelar adalah sebuah pantangan. Sama halnya menjual kehidupan mereka.
Konsep bertanam padi warisan leluhur Kasepuhan Ciptagelar tanpa pupuk dan pestisida. Mengandalkan perhitungan perbintangan (astronomi). Abah Ugi sebagai tetua adat yang memutuskan kapan waktu yang tepat untuk mulai bertanam padi dan menuai hasilnya. Siklus bertanam padi setahun sekali inilah yang akan memutus kehidupan hama.
Konsep bertanam padi tersebut diusung ke kancah internasional. Kang Yoyo mewakili Kasepuhan Ciptagelar menerima penghargaan The First Eco Medal untuk kategori Ecological Life dalam acara Dutch Design Week 2015. Sebuah acara pameran desain, seni, dan teknologi terbaru yang diadakan setiap tahun di kota Eindhoven, Belanda.
“Ada keturunan Neil Amstrong hadir di acara DDW” kata kang Yoyo, nonton bareng siaran CigaTV, stasiun tv lokal yang konten acaranya tentang kehidupan masyarakat Ciptagelar. Penerapan adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari dan kesenian tradisional dapat terdokumentasi dan diteruskan ke generasi muda melalui siaran CigaTV. Selain tv, juga ada radio yang dikelola sendiri.
Itu nyentriknya Kasepuhan Ciptagelar berpegang teguh pada adat dan memilah-milih modernisasi yang bisa bersanding harmoni dengan adat karuhun. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro yang menyuplai kebutuhan listrik desa Ciptagelar pun dikelola masyarakat sendiri. Penggunaan drone rakitan untuk memantau kondisi hutan adat bukan sekedar gaya-gayaan kekinian di sosial media. Di balik gunung, terpencil, namun komunikasi dengan dunia luar tidak terhalang karena sinyal internet HSPA+ di desa ketinggian 1050 mdpl.
Tamu Ciptagelar datang dari penjuru dunia dan pelosok tanah air, meskipun akses menuju kampung gede ini masih offroad. Dengan dijemput ojek warga Ciptagelar, saya menempuh perjalanan selama 3 jam dari Pelabuhan Ratu. Rasanya seperti menunggang kuda terpental-pental naik turun di jalan berbatu yang berkelok. Sempat berhenti 2 kali, singgah kampung Ciptarasa, Desa Sirnarasa untuk istirahat sebentar dan di sebuah saung antara Ciptarasa – Ciptagelar untuk menunggu hujan reda.
‘Pusat pemerintahan’ Kasepuhan sebelumnya ada di kampung Ciptarasa, Desa Sirnarasa karena wangsit dari leluhur (karuhun) maka pada tahun 2001 dipindahkan ke Desa Sirnaresmi dengan nama Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar. Rumah di Ciptarasa masih terawat apik dan bersih. Tamu juga diperbolehkan menginap disini.
Kedatangan saya bertepatan dengan acara syukuran ulang tahun ke tujuh putra Abah. Lomba menggambar anak-anak, pesta potong kue, dan panggung hiburan musik modern meramaikan suasana imah gede. Di imah gede ini biasanya tamu menginap tetapi saya dan Iis, teman perjalanan saya, dipersilakan menginap di rumah kang Yoyo yang lebih tenang suasananya.
Rumah panggung yang terasnya dipenuhi perangkat gamelan Sunda. Kamar mandi di desain unik dengan menempelkan botol-botol bekas di temboknya. Perpaduan tradisional dan modern, air terus mengalir dari lereng gunung dan kloset sudah menggunakan kloset duduk. Tungku berbahan bakar kayu masih dipertahankan, menyala setiap harinya tapi kompor gas juga digunakan. Satu hal yang paling pantang bagi kasepuhan Ciptagelar adalah menggunakan atap genteng. Karena genteng berasal dari tanah yang posisinya di bawah, tempat berpijak. Menggunakan genteng untuk rumah ibarat terkubur.
Duduk bersama tamu-tamu lain menonton CigaTV live dari dapur gede emak-emak tengah sibuk memasak hidangan untuk acara syukuran, sambil mencicipi kopi juara 2 kontes kopi SCAA (Speciality Coffee Association of America) Expo di Atlanta, USA April 2016, kopi Arabica Temanggung yang diracik oleh barista, tamu Ciptagelar dari Temanggung yang mencari kopi varietas asli Indonesia di gunung Halimun.
Kami berkesempatan menikmati jamuan makan malam bersama para baris kolot. Baris kolot adalah semacam penasehat untuk tetua adat Setelah didoakan abah dan perwakilan dari baris kolot, makanan yang tersaji boleh disantap. Ngariung di imah gede menyantap hasil masakan emak-emak berupa nasi (organik lho, nggak ada beras palsu), acar kuning, bihun, ayam kuah bening cabe hejo (saya ambil cabe hijau aja), telur balado, dan aneka bubur.
Ambil makanan secukupnya jangan sampai ada yang tersisa di piring. Oya letakkan piring di lantai pada saat makan jangan diangkat. Itu pesan-pesan dari salah seorang tamu Ciptagelar yang datang sebelum saya. Pamali katanya.
Semakin malam semakin riuh suasana di imah gede. Sang tetua adat ikut meramaikan panggung dengan membetot bass bersama band anak-anak muda. Sementara ma’ alit, panggilan istri abah, menyanyi di pendopo imah gede. Emak-emak tak mau ketinggalan berjoget di depan panggung.
Sayang sekali saya melewatkan acara panen raya di Legok, karena harus kembali ke Jakarta. Sedikit tahu dari siaran CigaTV, panen raya merupakan salah satu moment menarik di Ciptagelar. Dimeriahkan oleh baris angklung. Padi (pare) dipanen setangkai demi setangkai dengan ani-ani atau ketam. Dikelompokkan sesuai arah lengkung tangkai padi. Diikat. Dijemur sampai kering selama 1 bulan pada lantayan (rangkaian bambu). Apabila sudah kering dimasukkan ke lumbung padi (leuit). Sampai padi selesai di panen semua, kemudian diadakan acara syukuran yang dikenal sebagai festival serentaun.
Masih biasa aja menyisakan nasi di piring? Yuk, berkunjung ke Ciptagelar bergabung dengan emak-emak mencipta irama mengayunkan alu ke lesung memisah sekam dari beras atau membantu nini-nini berpeluh di depan tungku menanak nasi tak lupa mengipas, ngakeul sangu sebelum disajikan. ‘Peradaban bawah’ menuntut serba cepat dan praktis, tinggal pencet rice cooker sambil mengerjakan hal lain nasi sudah matang. Proses yang kurang dihargai seringkali membuat kita remeh temeh mengkerdilkan nilai hasilnya.
Sumber :
https://rinakustianti.wordpress.com
Views: 765