Sulawesi Selatan: Khazanah Budaya Nan Terpelihara

Bulan September kemarin, sayadsaya tugas ke Makasar, Sulawesi Selatan; di salah satu bank lokal. Kerjaannya hanya memakan waktu satu hari alias PP, jadi sudah dibelikan tiket pulang pergi oleh kantor.

Penerbangan dimulai hari Kamis pagi dari Jakarta. Sampai di Makasar, lanjut kerja dan selesai sore hari pukul 3. Karena saya bandel, akhirnya saat di warung kopi … mikir lagi untuk cancel tiket pesawat dan mau stay keliling Sulawesi Selatan sampai hari Minggu. Lumayan 4 hari.

Kepikiran malamnya untuk berangkat ke Toraja, Bulukumba, Kabupaten Gowa, dan keliling Kabupaten Maros.

Akhirnya langsung nelfon pool bus ke Toraja, memastikan masih ada atau tidak tiket. Lalu berangkat naik ojek online ke terminal. Sampai di sana cuma sendirian. Bus melaju sekitar 8 jam perjalanan, dengan harga tiket 150 ribu rupiah.

Foto oleh: Fahmi Dumbo

Ini penampakan busnya. Walaupun medium, dijamin badan tidak akan pegal sampe tujuan. Ini bis 9/10, fasilitas berupa sleeper bis, ac nyaman, lampu tidur, speaker dan tentu harganya ok.

Tidak terasa, sepanjang perjalanan tidur aja. Pukul 3 pagi tuba di Rantepao, ibu kotanya Toraja Utara. Sekarang Toraja dibagi dua: Tana Toraja dengan ibukotanya Makale dan Toraja Utara dengan ibukotanya Rantepao.

Tanpa prepare apa-apa, penginapan pun tidak dipikirkan. Akhirnya memutuskan mencari Masjid. Namun hanya ada satu Masjid besar di kota milik provinsi Sulawesi Selatan itu. Di sana, ada yang sedang di dalam Masjidnya. Saya minta izin untuk istirahat dan dibolehkan bahkan sambil mengisi baterai hp.

Setelah subuh, saya berangkat ke kota jalan kaki sambil mencari warkop dan sarapan. Sembari mikir rencana selanjutnya. Perbincangan di warkop dengan orang sana, menghasilkan rencana baru. Ternyata beliau seorang guide dan bersedia mengajak keliling dengan sepeda motor, Pak Rudi namanya. Harga jasa yang ditawarkannya adalah sebesar 350 ribu rupiah. Harga yang mungkin worth it lah, karena saya sangat ingin belajar sejarah di Toraja.

Di Toraja, rata-rata masyarakatnya beragama Katolik dan Protestan. Muslim hanya minoritas, tapi begitu damai suasananya. Apalagi Toraja Utara bersuhu dingin. Kebersamaan mereka jadi penghangat.

Foto oleh: Fahmi Dumbo
Kete Kesu

Setelah selesai sarapan, diantar Pak Rudi ke destinasi pertama ke Kete Kesu. Jaraknya kurang lebih 4 km.

Kete Kesu itu adalah desa wisata yang ada di Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Di desa adat tersebut, terdapat Tongkonan, kuburan adat, hingga museum peninggalan sejarah orang-orang Toraja.

Masyarakat Toraja menganut “aluk” atau adat yang merupakan kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang ditentukan oleh nenek moyangnya. Meskipun saat ini mayoritas masyarakat Toraja banyak yang memeluk agama Protestan atau Katolik, tetapi tradisi-tradisi leluhur dan upacara ritual masih terus dipraktikkan.

Tana Toraja memiliki dua jenis upacara adat yang populer yaitu Rambu Solo dan Rambu Tuka. Rambu Solo adalah upacara pemakaman, sedangkan Rambu Tuka adalah upacara atas rumah adat yang baru direnovasi. Khusus Rambu Solo, masyarakat Toraja percaya tanpa upacara penguburan ini … maka arwah orang yang meninggal tersebut akan memberikan kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkannya. Orang yang meninggal hanya dianggap seperti orang sakit, karenanya masih harus dirawat dan diperlakukan seperti masih hidup dengan menyediakan makanan, minuman, rokok, sirih, atau beragam sesajian lainnya.

Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Aluk To Dolo), ada prinsip semakin tinggi tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana.

Bagi kalangan bangsawan yang meninggal, maka mereka memotong kerbau yang jumlahnya 24 hingga 100 ekor sebagai kurban.

Foto oleh: Fahmi Dumbo

Foto-foto diatas adalah kuburan yg ada di Kete Kesu.

Kenapa orang toraja matinya tidak dikubur di tanah??

Orang toraja memiliki keyakinan bahwa tanah adalah tempat yang suci, jadi tidak boleh dijadikan tempat sebagai kuburan. Dan akhirnya mereka menguburkan di tebing batu, bebatuan atau lain sebagainya, asalkan tidak di dalam tanah.

Foto oleh: Fahmi Dumbo

Ini namanya Tau-Tau. Tau-tau adalah patung yang dipahat dari kayu. Patung ini dikenal dalam masyarakat Toraja sebagai perwujudan dari orang yang telah meninggal. Nah … pembuatan Tau-Tau, tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang dan yang bisa dibuatkan tau tau hanya bangsawan dengan status sosial  tinggi. Tau-Tau sekarang dipagari, karena telah banyak pencurian.

Londa

Kemudian saya lanjut ke sebuah wisata kuburan, bernama Londa. Londa merupakan kuburan gua alami yg ada di Toraja.

Di awal masuk, kita akan menemui Tugu Erong. Erong adalah sebuah keranda yang dibuat seperti rumah Tongkonan.

Foto oleh: Fahmi Dumbo

Kemudian saya masuk ke dalam gua, berbekal lampu hp. Jika teman-teman kesana, bisa menyewa petromak seharga 50 ribu rupiah. Guanya tidak terasa pengap tetapi berhawa sejuk, serta tidak berbau mayat meskipun di dalamnya terdapat banyak peti mati dan tengkorak.

Menariknya, banyak cela-cela gua yg difungsikan sebagai tempat menyimpan peti mati. Terdapat juga tengkorak sepasang kekasih yang bunuh diri karena jalinan percintaan mereka tidak direstui,  tersebab mempunyai hubungan saudara. Yaaa … ternyata kisah Romeo dan Juliet ada juga di kampung ini.

Foto oleh: Fahmi Dumbo

Goanya lumayan panjang dan sempit. Di sekitaran tengkorak, akan bertebaran sesajen seperti rokok, uang koin dan air minum. Konon, saat masih hidup mumi tersebut sangat gemar merokok. Masyarakat setempat percaya bahwa rokok yang diletakkan di mumi itu, akan digunakan kembali oleh yang bersangkutan di kehidupan lain setelah mengalami reinkarnasi nanti.

Bori Kalimbuang

Kemudian kita lanjut ke wisata selanjutnya. Bori Kalimbuang adalah situs megalit yang ada di Kec. Sasean, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Di dalamnya terdapat banyak batuan-batuan yang tinggi.

Foto oleh: Fahmi Dumbo

Batuan itu diambil dari gunung-gunung yg dibawa dengan cara tradisional yaitu dengan digelindingkan. Jangan heran prosesnya bisa memakan waktu berminggu-minggu dan berbulan-bulan. Masyarakat Toraja gotong-royongnya juara dan dibantu dengan ritual yang namanya Rapasan, sehingga menhir atau batuan bisa berdiri disana.

Loko Mata

Setelah puas, lanjut ke destinasi Loko Mata. Sama seperti kuburan lainnya, hanya saja Loko Mata ini adalah sebuah batuan yang sangat besar yang berada dipinggir jalan.

Foto oleh: Fahmi Dumbo

Uniknya batuan di Loko Mata itu, dipahat untuk dijadikan lubang kuburan. Kebayangkan, batu padat yang dipahat manual bisa makan waktu berapa lama.

Foto oleh: Fahmi Dumbo

Benda lainnya adalah Erong, digunakan buat mengantar mayat buat dikuburkan dan erong tidak boleh dibawa pulang, ditinggal disana sampai lapuk.

Terkahir, saya menikmati sore hari di puncak Rantepao… namanya Batu Tumonga. Dsini bisa liat kota Rantepao dari ketinggian.

Sambil istirahat dan makan, saya menikmati kopi toraja yang luar biasa nikmat. Di warung makan, saya juga ditawari belajar memasak kopi. Dari mulai pemilahan, sangrai, tumbuk hingga seduh.

Ternyata kopi Torabika merupakan singkatan dari nama Toraja Arabika, karena banyak kopi jenis arabika yg tumbuh di Toraja yang terkenal kelezatannya.

Di lokasi terakhir, saya minta diantar ke Totombi atau yg terkenal dengan negeri di atas awan. Itulah tempat perpisahan kami, setelah seharian motoran ditemani dan dijelaskan tentang Toraja. Totombi tidak perlu nanjak, karena kendaraan bisa sampai puncaknya.

Totombi

Sampe di Totombi malam hari, dingin dan berada di ketinggian 1300-an. Hujan semalaman, membuat saya mencari tau tempat untuk menginap. Ada namanya Lempe Tongkonan seharga 150 ribu rupiah. Karena uang di dompet tinggal 100 ribu rupiah, akhirnya mengurungkan niat dan bermalam di warung.

Saya sempat khawatir disana kabut, karena hujan. Namun harapan saya muncul, pukul 4 pagi saya bangun dan dapat pemandangan awan yang luar biasa.

Pagi harinya saya pulang ke Rantepao naik ojek, dan persiapan pulang ke Makasar untuk lanjut ke Kabupaten Gowa.

Hits: 391

Wina Zulfani

Masalah terbesar kita cuma satu: meninggal tapi tidak masuk Surga.

Baca Artikel Lainnya