Bila Anda mengunjungi Danau Toba jangan lupa singgah di lokasi wisata menarik satu ini. Huta Siallagan namanya. Terletak di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Pulau Samosir. Hanya memakan waktu sekitar 20 menit dari Tuktuk. Huta sendiri berarti kampung, sedangkan Siallagan adalah nama marga penghuni kampung tersebut.
Ojek wisata ini akan selalu ramai dikunjungi para wisatawan asing maupun lokal. Disini anda bisa memakai Ulos dan ikat kepala, serta menari Tor-Tor bersama-sama dengan Patung Si Gale-Gale. Anda cukup memberi sumbangan seikhlasnya.
Luas Huta Siallagan sekitar 2.400 m². Dikelilingi tembok batu tersusun rapi setinggi 1,5 hingga 2 meter. Anda akan kagum saat melihat perkampungan ini dikelilingi batu-batu besar yang disusun bertingkat dengan rapi. Dulunya tembok tersebut dilengkapi bambu dan benteng yang berfungsi untuk menjaga perkampungan dari gangguan binatang buas maupun serangan suku lain.
Perkampungan ini dibangun pada masa raja huta pertama yaitu Raja Laga Siallagan. Keturunan Raja tersebut sampai sekarang masih bermukim di sekitar Desa Ambarita. Beberapa makam keturunannyapun bisa ditemukan di tempat ini.
Tidak banyak yang berbeda dengan kampung lain di tanah Batak, yaitu terdiri atas deretan Rumah Bolon dan Sopo. Anda akan melihat 8 unit rumah batak berumur ratusan tahun yang memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang digunakan sebagai rumah raja dan keluarga, ada juga sebagai tempat pemasungan.
Batu Parsidangan
Yang unik disini adalah adanya Batu Parsidangan. Fungsinya untuk mengadili penjahat atau pelanggar hukum adat (kasus pembunuhan, pemerkosaan, dan lainnya) atau juga untuk musuh politik dari sang raja. Menggunakan kalender Batak untuk mencari hari baik menggelar sidang bersama para tetua adat. Para tetua adat akan memberikan usul jenis hukuman yang akan diberikan sesuai derajat kesalahannya. Raja Siallagan kemudian akan menetapkannya hukumannya. Sebelum diadili terdakwa akan dipasung terlebih dahulu.
Batu Persidangan berada di 2 lokasi. Batu sidang pertama tertata rapi melingkar di bawah pohon dan berfungsi sebagai tempat rapat. Rangkaian batu kursinya ini terdiri dari kursi untuk raja dan permaisuri, kursi para tetua adat, kursi raja untuk huta tetangga dan undangan, serta kursi untuk datu (pemilik ilmu kebathinan). Rangkaian batu kedua, berjarak sekitar 20 meter dari lokasi pertama. Digunakan untuk mengeksekusi orang yang benar-benar terbukti bersalah, dan tentunya adalah hukuman Pancung atau potong kepala. Untuk kejahatan ringan, jika dinyatakan bersalah dalam sidang maka hukumannya hanya di penjara. Seberapa lama menjalani hukuman tergantung dari keluarga pelaku, bisa atau tidak menebusnya.
Menurut penuturan masyarakat setempat, dahulunya tubuh terdakwa akan disayat hingga darah keluar. Ditetesi tetesan jeruk nipis sebelum dipenggal, apabila si terdakwa memiliki ilmu kebal. Potongan tubuh itu akan dibagikan untuk dimakan beramai-ramai. Raja Siallagan bila sangat membenci terdakwa tersebut maka akan memakan jantungnya. Bagian kepala akan dibungkus dan dikubur di tempat yang jauh dari Huta Siallagan. Darahnya akan ditampung dengan cawan untuk dijadikan minuman pencuci mulut. Potongan tubuh dan tulangnya dibuang ke Danau Toba. Masyarakat dilarang menyentuh air danau selama satu hingga dua minggu karena dianggap masih berisi roh jahat.
Dari kisah inilah yang kemudian menjadi sebuah cerita bahwa masyarakat Batak melakukan praktek kanibalisme. Ritual ini perlahan hilang setelah agama Kristen tersebar di Wilayah Samosir oleh seorang pendeta asal Jerman bernama Dr. Ingwer Ludwig Nommensen pada pertengahan abad ke-19. Raja Siallagan yang sebelumnya masih menganut agama asli Batak (Parmalim) kemudian memeluk Kristen dan tidak melanjutkan ritual kanibalisme itu lagi. Sekarang Huta Siallagan hanya berfungsi sebagai desa wisata saja, untuk mengenang sejarah dan budaya salah satu suku di Tanah Batak.
Sumber: pesona.indonesa.travel, www.medanwisata.com
Views: 1278